JAKARTA| Matapublic.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menghentikan penggunaan istilah “oknum” setiap kali anggotanya terlibat masalah. Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menyampaikan kritik ini saat menanggapi kasus dugaan pemerasan oleh polisi lintas satuan wilayah hukum Polda Metro Jaya terhadap warga Malaysia di festival Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024.
Fadhil menyatakan bahwa istilah “oknum” sering digunakan Polri untuk meredam kritik publik. “Penggunaan kata ini seperti upaya menyederhanakan persoalan dan menghindari tanggung jawab institusi. Padahal, ini jelas masalah sistemik,” tegasnya pada Ahad, 22 Desember 2024.
Sebagai contoh, ia menyoroti pernyataan Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, yang mengatakan, “Kami memastikan tidak ada tempat bagi oknum yang mencoreng institusi.”
Menurut Fadhil, berbagai kasus besar menunjukkan bahwa masalah ini bukan hanya kesalahan individu, tetapi juga kegagalan sistemik. Ia menyebut kasus-kasus seperti:
Eks Kepala Divisi Hubungan Internasional, Napoleon Bonaparte, yang menerima suap miliaran rupiah.
Inspektur Jenderal Teddy Minahasa, yang menukar barang bukti sabu dengan tawas.
Eks Kapolres Bandara Soekarno-Hatta, Kombes Edwin Hatorangan Hariandja, dalam kasus narkotika.
Kasus pungli Satlantas Bandara Soekarno-Hatta pada 2021.
“Polri harus berhenti menutupi masalah dengan istilah oknum. Ini adalah kegagalan institusi yang membutuhkan reformasi total,” lanjut Fadhil. Ia mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk segera mereformasi Polri secara struktural, instrumental, dan kultural agar transparan dan akuntabel.
Sementara itu, Polri telah menangkap 18 personel yang diduga terlibat pemerasan terhadap warga Malaysia di DWP 2024. Brigjen Trunoyudo mengungkapkan bahwa mereka berasal dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Kemayoran.
“Kami menindak tegas mereka yang melanggar, sesuai arahan Kapolri untuk menjaga integritas institusi,” kata Trunoyudo dalam keterangan resmi pada Jumat, 20 Desember 2024.
Kasus ini mencuat setelah akun media sosial @squi*** melaporkan banyak pengunjung ditangkap tanpa alasan jelas. “Polisi menangkap pengunjung meski tidak ditemukan barang terlarang, bahkan memaksa mereka membayar,” tulis akun tersebut.
Pihak penyelenggara DWP, Ismaya Live, menyampaikan permintaan maaf atas insiden tersebut. “Keselamatan, kesejahteraan, dan pengalaman Anda selalu menjadi prioritas utama kami,” ujar pernyataan resmi mereka pada Kamis, 19 Desember 2024.
Laporan menunjukkan bahwa sekitar 400 warga Malaysia menjadi korban dengan total nilai pemerasan mencapai RM 9 juta atau sekitar Rp32 miliar. (Red)