Lima Puluh Kota

Kisah Pilu Syaikh Mulyadi: Guru Surau Dilupakan Elit Politik, Tinggal di Gubuk Reot Tanpa Bantuan Pemerintah

309
×

Kisah Pilu Syaikh Mulyadi: Guru Surau Dilupakan Elit Politik, Tinggal di Gubuk Reot Tanpa Bantuan Pemerintah

Sebarkan artikel ini

LIMAPULUH KOTA|Matapublic.com — Betapa mengiris hati melihat kenyataan hidup Syaikh Mulyadi, seorang guru surau pengajian di Jorong Ketinggian, Sarilamak, Harau, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Puluhan tahun, beliau bertahan di rumah kayu reot warisan orang tua, tanpa listrik, tanpa kamar mandi, hanya bermodalkan penerangan tenaga surya. Tragisnya, saat pesta demokrasi tiba, sederet calon DPR RI dan DPRD datang memohon restu, namun seketika melupakannya usai meraih kemenangan.

Saat awak media bersama penggiat sosial Luak 50 menyambangi kediaman Syaikh (27/04/25), yang hanya berukuran 3×3 meter itu, tampak jelas betapa memprihatinkannya kondisi rumah tersebut.

Mulyadi, 57 tahun, sehari-hari menjadi petani dan kadang membantu bertukang, tetap tegar meski tak pernah sekalipun merasakan manisnya program bantuan pemerintah, seperti PKH atau Bantuan Sembako.

Ketika ditanya mengapa tidak mengajukan bantuan rumah, Syaikh menjawab dengan tenang, “Saya tidak pernah meminta-minta. Bukankah tugas pemerintah membantu rakyat yang membutuhkan?” jawabnya. Menurut UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, jelas disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Kondisi Dalam Rumah Guru Surau Syekh Mukaydi
Kondisi Dalam Rumah Guru Surau Syekh Mulyadi

Tak hanya itu, PP No. 14 Tahun 2016 dan Permen PUPR No. 7 Tahun 2022 juga memperkuat kewajiban negara menangani rumah tidak layak huni (RTLH). Ironisnya, semua aturan ini seolah hanya menjadi formalitas di atas kertas tanpa tindakan nyata di lapangan.

Mak Kimin, warga sekitar, membenarkan bahwa Syaikh telah tinggal di gubuk itu sejak kecil, hanya menerima bantuan kompor dan tabung gas 3 kg sepanjang hidupnya.

“Kami sangat berharap dinas terkait dan perangkat nagari bisa lebih peka dan segera bertindak,” ungkapnya.

Yang lebih memilukan, setiap musim Pilkada, rumah kecil itu ramai didatangi pejabat mencari dukungan. Namun, setelah hasrat mereka tercapai, Syaikh seolah dibuang dan dilupakan. Ini bukan hanya kemiskinan materi, melainkan kemiskinan nurani para pemangku kebijakan.

Dengan suara lantang, para penggiat sosial mendesak Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota dan Baznas untuk segera membangun kembali rumah Syaikh Mulyadi yang sangat tidak layak huni ini. Apakah hati nurani akan kembali bergetar? (Bersambung)